Tata Kehidupan manusia di muka bumi mulai terwujud ketika Hawa hamil dan siap menyambut kelahiran anak-anaknya.
Rasulullah saw. bersabda, “Ketika Allah menurunkan Adam a.s. dari surga bersama Hawa, –ketika di surga keduanya tidak melakukan hubungan suami istri, masing-masing tidur sendiri– sehingga ketika di bumi Malaikat Jibril mendatangi Adam a.s. dan menyuruhnya untuk menggauli istrinya serta mengajarkan bagaimana caranya. Ketika Adam a.s. telah menggauli istrinya, Jibril kembali mendatangi Adam a.s. dan bertanya, “Bagaimana kamu dapati istri kamu?” Adam menjawab, “Shalihah insya Allah…”
Awal bunga mekar di taman kehidupan manusia. Adam alaihis salam dan Hawa merasakan kebahagiaan dan ketentraman bersama mereka. Adam alaihis salam dan Hawa begitu mencintai dan menyayangi mereka. Keduanya berharap agar keturunannya akan memenuhi penjuru bumi, berjalan di atasnya dan memakan dari rizki yang telah Allah swt sediakan.
Adam alaihis salam dan Hawa sangat menanti kelahiran anak-anaknya. Meskipun situasi dan kondisi yang mereka hadapi sangatlah berat. Terutama bagi seorang calon ibu. Namun bagi Hawa justru menguatkan rasa cinta, kasih sayang dan kelembutan. Hawa menjadi seorang ibu yang qurrata a’yun lagi penuh kehangatan.
Hawa melahirkan dua kali anak kembar. Yaitu Qabil dan saudarinya serta Habil dan saudarinya. Mereka tumbuh dalam asuhan kedua orang tuanya. Kedua putranya merasakan nikmatnya kehidupan dan masa muda yang kuat. Sedangkan kedua putrinya tumbuh dengan kecenderungan kewanitaannya. Kedua putranya mulai bekerja mencari penghidupan. Qabil sebagai petani dan Habil sebagai penggembala.
Syari’at Menikah
Dua bersaudara mendapatkan kemudahan hidup dan ma’isyah. Keluarga ini pun diliputi rasa aman dan berkecukupan. Seiiring berjalannya waktu dan usia, keduanya memiliki dorongan kelaki-lakian yang kuat, yaitu dorongan memiliki pasangan hidup untuk mendapatkan sakinah dan ketenteraman jiwa dengan pasangannya. Hasrat jiwa keduanya begitu menggebu. Mencari jalan keluar yang mungkin diraih.
Nampaklah di sini kehendak Allah swt yang menjadi rahasia semenjak azali bahwa bani Adam diuji dengan kemudahan-kemudahan, berupa harta yang melimpah, anak yang banyak, bumi subur menghijau dengan memberikan hasil-hasilnya. Sebagaimana juga takdir Allah swt berlaku, yaitu manusia bukan hanya umat yang satu, bahkan harus beragam dan banyak. Ada perbedaan pandangan dan keinginan, model dan penciptaan, bahagia dan sengsara.
Maka Allah swt mewahyukan kepada bapak manusia untuk menikahkan anak mudanya secara silang. Adam alaihis salam melaksanakan perintah Allah dan menyampaikannya kepada anak-anaknya dengan harapan bahwa keputusan ini menjadi penengah bagi mereka.
Menuruti Nafsu Penyebab Penyimpangan
Dorongan hasrat jiwa adalah sikap ambisi dan tamak. Namun barangsiapa yang mampu mengendalikan dorongan gelora syahwatnya dan mampu menjadikan akalnya sebagai pengendali hawa nafsunya, maka ia menjadi orang yang dimuliakan Allah swt di dunia dan akhirat. Adapun siapa yang tunduk di bawah kendali syahwatnya. Akalnya bertekuk lutut dikalahkan nafsunya, maka ia termasuk kelompok orang-orang yang merugi dan tersesat jalan hidupnya, meskipun ia mengira perbuatan itu baik.
Setelah Adam alaihis salam menyampaikan wahyu Tuhannya dan memutuskan pernikahan anak-anaknya, seketika itu Qabil menolak. Ia tidak menerima keputusan ayahnya, karena calon istrinya tidak secantik calon istri saudaranya. Qabil iri terhadap saudaranya. Dia masih berharap agar saudari kembarnya yang akan menjadi istrinya.
Kecantikan fisik masih menjadi sumber masalah yang siap melumat jiwa manusia dan mewariskan kerusakan.
Kecantikan menjadi sebab perpecahan di antara dua bersaudara. Namun Habil tetap mengingatkan saudaranya untuk mentaati ayahnya dan menerima takdirnya.
Adam alaihis salam sebagai seorang ayah didera kebingungan yang hebat, tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Dirinya terbelah dalam dua pilihan yang serba sulit. Antara cinta kepada kedua putranya, dan antara keberlangsungan persaudaraan serta keselamatan keduanya. Sampai akhirnya Allah swt memberikan jalan keluar kepada Adam alaihis salam, yaitu agar kedua putranya mempersembahkan qurban kepada Allah swt. Mana di antara keduanya yang diterima qurbannya, berarti dialah yang berhak mendapatkan keinginannnya. Habil mengurbankan unta, sedangkan Qabil mengurbankan gandum. Keduanya mengharapkan bahwa dirinyalah yang mendapatkan bagian yang lebih baik.
Habil telah menunaikan bagiannya dan benar dalam prosesnya, yaitu menerima keputusan ayahnya dan ikhlas dalam menjalankan qurbannya, oleh karena itu qurbannya diterima. Sedangkan qurban saudaranya ditolak, karena ia masih belum menerima keputusan ayahnya, dan tidak mengikhlaskan niat dalam pengurbanannya.
Qabil meradang karena impianya tidak tercapai. Malah hatinya dipenuhi kedengkian. Ia pun bersumpah kepada saudaranya, ”Akan aku bunuh kamu, kalau tidak aku menderita, sebaliknya kamu berbahagia. Dan aku tidak mau bersaudara dengan orang yang bahagia, sedangkan aku kecewa dan tersiksa.
Mendengar ancaman Qabil itu, Habil berkata kepadanya dengan penuh penyesalan hati, ”Saudaraku, alangkah baiknya jika kamu menyadari kesalahanmu sehingga kamu memperbaikinya. Agar kamu menapaki jalan keselamatan, kamu pun akan bahagia. Karena Allah swt tidak akan sekali-kali menerima persembahan qurban, kecuali dari orang-orang yang bertakwa.”
Menasehati Dalam Kebaikan
Habil adalah orang yang dikaruniai keluasan akal dan kekuatan fisik. Ia termasuk orang-orang yang diberi amanat, maka ia pun menjaganya. Ia termasuk orang-orang yang diberi hikmah, maka ia menggunakannya dengan sebaik-baiknya. Ia lebih mementingkan keridhaan Allah swt, berbakti kepada kedua orang tuanya dan rela dengan pembagian Tuhannya. Ia melihat bahwa dunia ini adalah kesenangan yang akan hilang, pemberian yang akan berganti. Ia sangat sayang dengan saudaranya dan selalu menasehatinya serta selalu mengingatkan agar menepati janjinya. Selain itu ia pun yakin bahwa dirinya memiliki kekuatan dari kekuatan Allah swt, sehingga ancaman Qabil tidak membuat dirinya takut.
Habil melewati hari-harinya dengan biasa. Tidak ada niat sekecil apapun untuk menyakiti saudaranya, apalagi membunuhnya. Karena Allah swt Dzat yang telah menciptakan kesucian menetapkan demikian, yaitu yang baik dan suci tidak boleh terprovokasi oleh sifat tercela. Maka ia takut kepada Allah swt. Tuhan semesta alam.
Habil terus berusaha menasehati saudarnaya dengan santun dan menjaga hati saudaranya. Itu dilakukannya adalah semata-mata agar ucapannya dapat menjadi penawar hati sehingga mampu mengikis rasa dengki saudaranya. Ia berkata, ”Wahai saudaraku, sebenarnya kamu telah khilaf. Kamu akan berdosa kalau tetap bertekad membunuhku. Jalan pikiranmu keliru. Lebih baik kamu beristighfar dan minta ampun kepada Allah swt., kembali ke jalan-Nya. Kalau kamu tetap membulatkan tekadmu, terus ingin melaksanakan rencanamu, maka sungguh aku serahkan urusanku kepada Allah swt. karena aku sangat takut dosa akan menghampiriku atau seberkas sisa kedurhakaan menggelayut di hatiku. Maka tanggunglah dosa olehmu sendiri. Kamu termasuk ahli neraka dan itulah ganjaran bagi orang yang dzalim.”
Namun demikian, tidaklah ketulusan persaudaraan Habil itu mampu mengobati kedengkian Qabil. Tidaklah kasih sayang, kelembutan dan kecintaan dari hati Habil yang paling dalam mampu memadamkan gejolak api di hati saudaranya. Tidaklah juga rasa takut kepada Allah swt, dan menjaga hak-hak kedua orang tua merubah hati orang yang pertama kali berbuat dosa di muka bumi ini.
Terjadilah peristiwa itu. Suatu hari tangan Qabil berlumuran darah saudaranya sendiri. Ia telah membunuhnya. Habil kembali kepada Tuhannya.
Beberapa hari Adam alaihis salam tidak melihat Habil. Sang ayah merasa khawatir sesuatu telah menimpanya. Ia pun bertanya kepada Qabil, ”Di mana saudaramu, Habil?”. Qabil menjawab dengan cueknya, ”Aku bukanlahlah wakil dia. Bukan penjaga dia dan bukan juga perawat dia.”.
Adam alaihis salam akhirnya mengetahui bahwa putranya telah dibunuh. Adam alaihis salam terdiam penuh gejolak. Namun Adam alaihis salam mampu menahan gejolak tersebut meskipun dengan perih pilu atas hilangnya orang yang ia cintai. Adam alaihis salam melantunkan syair duka-citanya:
Aku berkata dalam diri penuh penyesalan dan duka nestapa
Salah satu putraku dibunuh dan tidak akan pernah kembali lagi
Habil adalah orang pertama yang dibunuh di muka bumi ini . Qabil bingung tidak mengetahui bagaimana cara mengurus jenazah saudaranya. Dipikullah suadaranya mondar-mandir di atas pundaknya. Qabil didera ketakutan dan kegelisahan… berhari-hari. Hingga bau tidak sedap mulai tercium dari tubuh jenazah saudaranya. Qabil telah capek memikulnya. Qabil tidak tahu harus berbuat apa.
Sampai di sini, kasih sayang Allah swt terhadap tubuh jenazah suci itu mau tidak mau turun. Sebagai sunnah bagi ketentuan makhluk. Sekaligus sebagai penjagaan terhadap kemuliaan Adam alahis salam dan putranya. Di sini juga, wajib ada pelajaran berharga bagi orang yang dipenuhi dendam kesumat. Akan tetapi dia bukanlah orang yang pantas menerima wahyu Allah swt. juga bukan ilham-Nya. Bahkan ia harus menjadi murid dari burung gagak. Pengetahuannya baru muncul ketika melihat seekor hewan hitam yang lemah. Keegoannya baru luluh atas peristiwa yang dilihatnya.
Allah swt mengutus dua ekor burung gagak yang saling bertarung. Salah satunya membunuh yang lain, kemudian mengubur dengan pelatuknya di bawah tanah. Melihat peristiwa itu Qabil menyesal seraya berkata, ”Aduhai celaka aku, Mengapa Aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu Aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.” QS. Al Ma’idah: 31
Penyesalan memang selalu datang belakangan. Naudzubillah min dzalik
Beberapa Ibrah Dari Kisah Ini:
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/02/115/kisah-habil-dan-qabil/#ixzz1tK4AdK00
Rasulullah saw. bersabda, “Ketika Allah menurunkan Adam a.s. dari surga bersama Hawa, –ketika di surga keduanya tidak melakukan hubungan suami istri, masing-masing tidur sendiri– sehingga ketika di bumi Malaikat Jibril mendatangi Adam a.s. dan menyuruhnya untuk menggauli istrinya serta mengajarkan bagaimana caranya. Ketika Adam a.s. telah menggauli istrinya, Jibril kembali mendatangi Adam a.s. dan bertanya, “Bagaimana kamu dapati istri kamu?” Adam menjawab, “Shalihah insya Allah…”
Awal bunga mekar di taman kehidupan manusia. Adam alaihis salam dan Hawa merasakan kebahagiaan dan ketentraman bersama mereka. Adam alaihis salam dan Hawa begitu mencintai dan menyayangi mereka. Keduanya berharap agar keturunannya akan memenuhi penjuru bumi, berjalan di atasnya dan memakan dari rizki yang telah Allah swt sediakan.
Adam alaihis salam dan Hawa sangat menanti kelahiran anak-anaknya. Meskipun situasi dan kondisi yang mereka hadapi sangatlah berat. Terutama bagi seorang calon ibu. Namun bagi Hawa justru menguatkan rasa cinta, kasih sayang dan kelembutan. Hawa menjadi seorang ibu yang qurrata a’yun lagi penuh kehangatan.
Hawa melahirkan dua kali anak kembar. Yaitu Qabil dan saudarinya serta Habil dan saudarinya. Mereka tumbuh dalam asuhan kedua orang tuanya. Kedua putranya merasakan nikmatnya kehidupan dan masa muda yang kuat. Sedangkan kedua putrinya tumbuh dengan kecenderungan kewanitaannya. Kedua putranya mulai bekerja mencari penghidupan. Qabil sebagai petani dan Habil sebagai penggembala.
Syari’at Menikah
Dua bersaudara mendapatkan kemudahan hidup dan ma’isyah. Keluarga ini pun diliputi rasa aman dan berkecukupan. Seiiring berjalannya waktu dan usia, keduanya memiliki dorongan kelaki-lakian yang kuat, yaitu dorongan memiliki pasangan hidup untuk mendapatkan sakinah dan ketenteraman jiwa dengan pasangannya. Hasrat jiwa keduanya begitu menggebu. Mencari jalan keluar yang mungkin diraih.
Nampaklah di sini kehendak Allah swt yang menjadi rahasia semenjak azali bahwa bani Adam diuji dengan kemudahan-kemudahan, berupa harta yang melimpah, anak yang banyak, bumi subur menghijau dengan memberikan hasil-hasilnya. Sebagaimana juga takdir Allah swt berlaku, yaitu manusia bukan hanya umat yang satu, bahkan harus beragam dan banyak. Ada perbedaan pandangan dan keinginan, model dan penciptaan, bahagia dan sengsara.
Maka Allah swt mewahyukan kepada bapak manusia untuk menikahkan anak mudanya secara silang. Adam alaihis salam melaksanakan perintah Allah dan menyampaikannya kepada anak-anaknya dengan harapan bahwa keputusan ini menjadi penengah bagi mereka.
Menuruti Nafsu Penyebab Penyimpangan
Dorongan hasrat jiwa adalah sikap ambisi dan tamak. Namun barangsiapa yang mampu mengendalikan dorongan gelora syahwatnya dan mampu menjadikan akalnya sebagai pengendali hawa nafsunya, maka ia menjadi orang yang dimuliakan Allah swt di dunia dan akhirat. Adapun siapa yang tunduk di bawah kendali syahwatnya. Akalnya bertekuk lutut dikalahkan nafsunya, maka ia termasuk kelompok orang-orang yang merugi dan tersesat jalan hidupnya, meskipun ia mengira perbuatan itu baik.
Setelah Adam alaihis salam menyampaikan wahyu Tuhannya dan memutuskan pernikahan anak-anaknya, seketika itu Qabil menolak. Ia tidak menerima keputusan ayahnya, karena calon istrinya tidak secantik calon istri saudaranya. Qabil iri terhadap saudaranya. Dia masih berharap agar saudari kembarnya yang akan menjadi istrinya.
Kecantikan fisik masih menjadi sumber masalah yang siap melumat jiwa manusia dan mewariskan kerusakan.
Kecantikan menjadi sebab perpecahan di antara dua bersaudara. Namun Habil tetap mengingatkan saudaranya untuk mentaati ayahnya dan menerima takdirnya.
Adam alaihis salam sebagai seorang ayah didera kebingungan yang hebat, tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Dirinya terbelah dalam dua pilihan yang serba sulit. Antara cinta kepada kedua putranya, dan antara keberlangsungan persaudaraan serta keselamatan keduanya. Sampai akhirnya Allah swt memberikan jalan keluar kepada Adam alaihis salam, yaitu agar kedua putranya mempersembahkan qurban kepada Allah swt. Mana di antara keduanya yang diterima qurbannya, berarti dialah yang berhak mendapatkan keinginannnya. Habil mengurbankan unta, sedangkan Qabil mengurbankan gandum. Keduanya mengharapkan bahwa dirinyalah yang mendapatkan bagian yang lebih baik.
Habil telah menunaikan bagiannya dan benar dalam prosesnya, yaitu menerima keputusan ayahnya dan ikhlas dalam menjalankan qurbannya, oleh karena itu qurbannya diterima. Sedangkan qurban saudaranya ditolak, karena ia masih belum menerima keputusan ayahnya, dan tidak mengikhlaskan niat dalam pengurbanannya.
Qabil meradang karena impianya tidak tercapai. Malah hatinya dipenuhi kedengkian. Ia pun bersumpah kepada saudaranya, ”Akan aku bunuh kamu, kalau tidak aku menderita, sebaliknya kamu berbahagia. Dan aku tidak mau bersaudara dengan orang yang bahagia, sedangkan aku kecewa dan tersiksa.
Mendengar ancaman Qabil itu, Habil berkata kepadanya dengan penuh penyesalan hati, ”Saudaraku, alangkah baiknya jika kamu menyadari kesalahanmu sehingga kamu memperbaikinya. Agar kamu menapaki jalan keselamatan, kamu pun akan bahagia. Karena Allah swt tidak akan sekali-kali menerima persembahan qurban, kecuali dari orang-orang yang bertakwa.”
Menasehati Dalam Kebaikan
Habil adalah orang yang dikaruniai keluasan akal dan kekuatan fisik. Ia termasuk orang-orang yang diberi amanat, maka ia pun menjaganya. Ia termasuk orang-orang yang diberi hikmah, maka ia menggunakannya dengan sebaik-baiknya. Ia lebih mementingkan keridhaan Allah swt, berbakti kepada kedua orang tuanya dan rela dengan pembagian Tuhannya. Ia melihat bahwa dunia ini adalah kesenangan yang akan hilang, pemberian yang akan berganti. Ia sangat sayang dengan saudaranya dan selalu menasehatinya serta selalu mengingatkan agar menepati janjinya. Selain itu ia pun yakin bahwa dirinya memiliki kekuatan dari kekuatan Allah swt, sehingga ancaman Qabil tidak membuat dirinya takut.
Habil melewati hari-harinya dengan biasa. Tidak ada niat sekecil apapun untuk menyakiti saudaranya, apalagi membunuhnya. Karena Allah swt Dzat yang telah menciptakan kesucian menetapkan demikian, yaitu yang baik dan suci tidak boleh terprovokasi oleh sifat tercela. Maka ia takut kepada Allah swt. Tuhan semesta alam.
Habil terus berusaha menasehati saudarnaya dengan santun dan menjaga hati saudaranya. Itu dilakukannya adalah semata-mata agar ucapannya dapat menjadi penawar hati sehingga mampu mengikis rasa dengki saudaranya. Ia berkata, ”Wahai saudaraku, sebenarnya kamu telah khilaf. Kamu akan berdosa kalau tetap bertekad membunuhku. Jalan pikiranmu keliru. Lebih baik kamu beristighfar dan minta ampun kepada Allah swt., kembali ke jalan-Nya. Kalau kamu tetap membulatkan tekadmu, terus ingin melaksanakan rencanamu, maka sungguh aku serahkan urusanku kepada Allah swt. karena aku sangat takut dosa akan menghampiriku atau seberkas sisa kedurhakaan menggelayut di hatiku. Maka tanggunglah dosa olehmu sendiri. Kamu termasuk ahli neraka dan itulah ganjaran bagi orang yang dzalim.”
Namun demikian, tidaklah ketulusan persaudaraan Habil itu mampu mengobati kedengkian Qabil. Tidaklah kasih sayang, kelembutan dan kecintaan dari hati Habil yang paling dalam mampu memadamkan gejolak api di hati saudaranya. Tidaklah juga rasa takut kepada Allah swt, dan menjaga hak-hak kedua orang tua merubah hati orang yang pertama kali berbuat dosa di muka bumi ini.
Terjadilah peristiwa itu. Suatu hari tangan Qabil berlumuran darah saudaranya sendiri. Ia telah membunuhnya. Habil kembali kepada Tuhannya.
Beberapa hari Adam alaihis salam tidak melihat Habil. Sang ayah merasa khawatir sesuatu telah menimpanya. Ia pun bertanya kepada Qabil, ”Di mana saudaramu, Habil?”. Qabil menjawab dengan cueknya, ”Aku bukanlahlah wakil dia. Bukan penjaga dia dan bukan juga perawat dia.”.
Adam alaihis salam akhirnya mengetahui bahwa putranya telah dibunuh. Adam alaihis salam terdiam penuh gejolak. Namun Adam alaihis salam mampu menahan gejolak tersebut meskipun dengan perih pilu atas hilangnya orang yang ia cintai. Adam alaihis salam melantunkan syair duka-citanya:
Aku berkata dalam diri penuh penyesalan dan duka nestapa
Salah satu putraku dibunuh dan tidak akan pernah kembali lagi
Habil adalah orang pertama yang dibunuh di muka bumi ini . Qabil bingung tidak mengetahui bagaimana cara mengurus jenazah saudaranya. Dipikullah suadaranya mondar-mandir di atas pundaknya. Qabil didera ketakutan dan kegelisahan… berhari-hari. Hingga bau tidak sedap mulai tercium dari tubuh jenazah saudaranya. Qabil telah capek memikulnya. Qabil tidak tahu harus berbuat apa.
Sampai di sini, kasih sayang Allah swt terhadap tubuh jenazah suci itu mau tidak mau turun. Sebagai sunnah bagi ketentuan makhluk. Sekaligus sebagai penjagaan terhadap kemuliaan Adam alahis salam dan putranya. Di sini juga, wajib ada pelajaran berharga bagi orang yang dipenuhi dendam kesumat. Akan tetapi dia bukanlah orang yang pantas menerima wahyu Allah swt. juga bukan ilham-Nya. Bahkan ia harus menjadi murid dari burung gagak. Pengetahuannya baru muncul ketika melihat seekor hewan hitam yang lemah. Keegoannya baru luluh atas peristiwa yang dilihatnya.
Allah swt mengutus dua ekor burung gagak yang saling bertarung. Salah satunya membunuh yang lain, kemudian mengubur dengan pelatuknya di bawah tanah. Melihat peristiwa itu Qabil menyesal seraya berkata, ”Aduhai celaka aku, Mengapa Aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu Aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.” QS. Al Ma’idah: 31
Penyesalan memang selalu datang belakangan. Naudzubillah min dzalik
Beberapa Ibrah Dari Kisah Ini:
- Allah swt berkehendak agar bumi-Nya dihuni oleh banyak manusia, yaitu melalui syari’at pernikahan yang halal.
- Kecantikan wanita menjadi penyebab permusuhan dan fitnah, sesuai sabda Rasulullah saw. ”Takutlah fitnah wanita, karena penyebab bani Isra’il hancur adalah karena fitnah wanita.” HR. Muslim.
- Orang yang shalih selalu menerima keputusan dan perintah Tuhannya, sekaligus berusaha untuk mendakwahkan kebenaran ajaran Tuhannya, sekalipun terhadap orang yang memusuhinya.
- Penyebab orang menentang kebenaran adalah sikap menuruti hawa nafsu dan sombong. Dan orang yang mengikuti hawa nafsu lagi sombong tidak bisa menerima nasehat dan pelajaran kecuali lewat jalan yang hina.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/02/115/kisah-habil-dan-qabil/#ixzz1tK4AdK00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar